MAKALAH HASIL HUTAN BUKAN KAYU
MAKALAH
PENGETAHUAN BAHAN HASIL PERTANIAN
“HASIL HUTAN BUKAN KAYU”
DISUSUN OLEH :
NAMA :
KHALIFAH ADRIANI PUTRI
NIM :
J1B018040
KELAS : TEP GENAP 18
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN
AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas
rahmat-Nya maka penulisi dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “HASIL HUTAN BUKAN KAYU”
Penulisan
makalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Pengetahuan Bahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi
Pangan Dan Agroindustri Universitas Mataram. Harapan penulis semoga
makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini,
dan penulis harapkan
kedepannya dapat lebih baik.
Mataram,
30 Mei 2019
Penulis
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................................................1
2.5 Pengembangan hasil hutan bukan kayu
(HHBK).....................................................11
2.6 Kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK).............................................................12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem pada hamparan lahan yang luas yang berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi oleh pepohonan yang berperan sangat penting bagi
kehidupan di muka bumi ini. Paradigma baru sektor kehutanan telah memandang hutan
sebagai multi fungsi, baik fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Selain
multifungsi, sumber daya hutan juga bersifat multi komoditas berupa barang dan
jasa. Adapun komoditas barang yaitu manfaat yang dapat dirasakan secara
langsung berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan,
komoditas jasa adalah manfaat yang dirasakan secara tidak langsung.
Hasil hutan
bukan kayu terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan
masyarakat sekitar hutan dan memberikan konstribusi yang berarti bagi
peningkatan devisa negara, Sumberdaya hutan Indonesia sangat kaya dengan
berbagai macam produk yang dihasilkan. Hasil hutan tersebut dapat berupa hasil
hutan dan hasil hutan bukan kayu yang meliputi berbagai macam produk seperti
bambu, gondorukem, damar, Rotan, terpentin dan sebagainya(Darusman, 2006).
Hutan
memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan yaitu berupa manfaat langsung yang
dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh
apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal.
Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan
nyata apabila pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya
pelestarian guna pembangunan nasional berkelanjutan (Arief, 2001).
Paradigma baru sektor kehutanan memandang
sumber daya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat
ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Sumber daya
hutan juga bersifat multi guna dan memuat multi kepentingan serta
pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu yang hanya
memberikan sumbangan 20%, melainkan juga manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK)
dan jasa lingkungan (pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam,
perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan), yang
memberikan sumbangan terbesar yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHBK
tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Paradigma ini makin
menyadarkan kita bahwa produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang
memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat
sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan
penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti
bagi penambahan devisa negara (Anonim, 2009).
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No P.35/Menhut-II/2007 telah ditetapkan jenis-jenis
HHBK yang terdiri dari 9 kelompok HHBK yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan
dan hewan .Pada saat ini terdapat 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas
pengembangannya yaitu Rotan, Bambu, Madu Lebah, Sutera dan Gaharu. Selain 5
komoditas HHBK unggulan nasional, daerah dapat mengembangkan komoditas HHBK
yang diunggulkan berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menurut Permenhut tersebut adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun
hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu. Produk HHBK ini
mencakup (1) hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu,
rerumputan, tanaman obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan
tetumbuhan; dan (2) hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan
hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan
hewan hutan. Sedangkan benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu
kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih
dan sehat serta jasa tidak termasuk dalam definisi Permenhut ini (Anonim,
2007a).
Sebagian
besar masyarakat masih memiliki ketergantungan dengan sumberdaya hutan dan
sumberdaya alam. Pola perladangan (gilir balik) lahan kering untuk memenuhi
kebutuhan pokok (padi, buah-buahan, sayur mayur), mencari ikan di sungai,
mencari produk-produk non kayu seperti rotan dan gaharu menunjukkan mereka
masih sangat kuat keterikatannya terhadap hutan. Namun sebagian masyarakat
memperlakukan hutan sebagai tempat yang tidak secara langsung menyediakan
karbohidrat, protein, dan obat-obatan tradisional tetapi sebagai sumber mata
pencaharian yang dapat menghasilkan uang
tunai.
1.1
Rumusan Masalah
Untuk
membahas secara lengakap tentang hasil hutan bukan kayu terdapat rumusan
masalah sebagai berikut :
a.
Apa yang dimaksud
dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
b.
Bagaimana
klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
c.
Bagaimana pengolahan
hasil hutan tertentu yang bukan termasuk kayu?
d.
Bagaimana manfaat
hasil hutan yang bukan kayu (HHBK) untuk masyarakat?
e.
Bagaimana
pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
f.
Bagaimana kebijakan
hasil hutan bukan kayu (HHBK)?
1.2
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yakni,sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui
pengertian hasil hutan bukan kayu (HHBK)
b.
Untuk mengetahui
klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)
c.
Untuk mengetahui
pengolahan hasil hutan tertentu bukan kayu
d.
Untuk mengetahui
manfaat hasil hutan yang bukan kayu (HHBK) untuk masyarakat
e.
Untuk mengetahui
bagaimana pengembanagan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
f.
Untuk mengetahui
kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hasil hutan
bukan kayu (HHBK)
Hasil hutan bukan kayu merupakan produk
selain kayu yang dihasilkan dari bagian pohon atau benda biologi lain yang
diperoleh dari hutan, berupa barang (good product) maupun jasa (services product)
dan konservasi. Produk berupa barang seperti produk minyak-minyakan, getah,
rotan, bambu, penyamak, lak, madu, obat-obatan, sedangkan jenis jasa dan
konservasi meliputi pariwisata dan jasa ekologis. Untuk hasil hutan bukan kayu
nabati bisa dikelompokkan kedalam kelompok rotan, kelompok bambu dan kelompok
bahan ekstraktif. Kelompok bahan ekstraktif menghasilkan produk ekstraktif yang
diperoleh dari proses ekstraksi, pengepresan dan destilasi (penyulingan), dan
hasil akhirnya dapat berupa minyak-minyakan, getahgetahan, dan ekstrak lain
seperti bahan penyamak, bahan pewarna, dan alkaloid. Setiap produk ini diambil
dari berbagai sumber tanaman seperti daun, kulit kayu, hasil ekskresi (getah)
dan lain sebagainya.
Menurut
Peraturan Menteri No. P35/ Menhut-II/ 2007, hasil hutan bukan kayu yang
selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani
beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu sebagai segala sesuatu yang
bersifat material (bukan kayu) yang dimanfatkan bagi kegiatan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hasil
hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut dengan HHBK adalah hasil yang
bersumber dari hutan selain kayu baik berupa benda-benda nabati seperti rotan,
nipah, sagu, bambu, getah-getahan, biji-bijian, daun-daunan, obatobatan dan
lain-lain maupun berupa hewani seperti satwa liar dan bagian-bagian satwa liar
tersebut (tanduk, kulit, dan lain-lain).
2.2 Klasifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan
kayu (HHBK)
HHBK dari ekosistem hutan
sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta produk turunan yang
dihasilkannya. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/ Menhut-II / 2007
tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, maka dalam rangka pengembangan budidaya maupun
pemanfaatannya HHBK dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani.
1.
Kelompok Hasil
Hutan dan Tanaman
a.
Kelompok Resin:
agatis, damar, embalau, kapur barus, kemenyan, kesambi, rotan jernang, tusam.
b.
Kelompok minyak
atsiri: akar wangi, cantigi, cendana, ekaliptus, gaharu, kamper, kayu manis,
kayu putih.
c.
Kelompok minyak
lemak: balam, bintaro, buah merah, croton, kelor, kemiri, kenari, ketapang,
tengkawang.
d.
Kelompok
karbohidrat : aren, bambu, gadung, iles-iles, jamur, sagu, terubus, suweg.
e.
Kelompok
buah-buahan: aren, asam jawa, cempedak, duku, durian, gandaria, jengkol,
kesemek, lengkeng, manggis, matoa, melinjo, pala, mengkudu, nangka, sawo,
sarikaya, sirsak, sukun
f.
Kelompok tannin:
akasia, bruguiera, gambir, nyiri, kesambi, ketapang, pinang, rizopora, pilang.
g.
Bahan pewarna:
angsana, alpokat, bulian, jambal, jati, kesumba, mahoni, jernang, nila, secang,
soga, suren.
h.
Kelompok getah:
balam, gemor, getah merah, hangkang, jelutung, karet hutan, ketiau, kiteja,
perca, pulai, sundik.
i.
Kelompok tumbuhan
obat: adhas, ajag, ajerar, burahol, cariyu, akar binasa, akar gambir, akar
kuning, cempaka putih, dadap ayam, cereme.
j.
Kelompok tanaman
hias: angrek hutan, beringin, bunga bangkai, cemara gunung, cemara irian,
kantong semar, pakis, palem, pinang merah.
k.
Kelompok palma dan
bambu: rotan (Calamus sp, Daemonorops sp, Korthalsia sp), bambu (Bambusa sp,
Giganthocloa sp, Euleptorhampus viridis, Dendrocalamus sp), agel, lontar,
nibung.
l.
Kelompok alkaloid:
kina, dll.
2.
Kelompok Hasil
Hewan
a.
Kelompok hewan buru
:
1.
Kelas mamalia: babi
hutan, bajing kelapa, berut, biawak, kancil, kelinci, lutung, monyet, musang, rusa.
2.
Kelas reptilia:
buaya, bunglon, cicak, kadal, londok, tokek, jenis ular
3.
Kelas amfibia:
bebagai jenis katak.
4.
Kelas aves:
alap-alap, beo, betet, kakatua, kasuari, kuntul merak, nuri perkici, serindit.
b.
Kelompok hasil
penangkaran: arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa.
c.
Kelompok hasil
hewan: burung wallet, kutu lak, lebah, ulat sutera.
2.3 Pengolahan
hasil hutan tertentu yang bukan kayu (HHBK)
Pengolahan hasil
hutan tertentu yang bukan termasuk kayu yakni,sebagai berikut :
a. Nilam
Pengamatan
tanaman nilam di lapangan yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman
pertanian dan perkebunan pada kebun campuran menunjukkan bahwa produktivitas
nilam yang ditanam secara tumpang sari di Tasikmalaya sebesar 4 kg/rumpun/panen
dengan hasil DNB (daun nilam basah) sekitar 75-100 ton/ha atau sama dengan
15-20 ton DNK (daun nilam kering) per hektar sekali panen lalu dijual ke
pedagang dengan harga Rp 500/kg basah, dan Rp 2.500/kg kering, dengan nilai
jual sekitar Rp 37,5-50 juta/ha. Usaha ini dikelola oleh Kelompok Tani Mitra
Usaha Jaya. Proses penyulingan dengan cara uap panas. Kualitas dan rendemen
minyak yang ditanam secara tumpang sari tidak kalah bagus dengan kualitas
minyak yang ditanam secara monokultur. Kadar Patchouli berkisar antara
26-39,5%, bahkan yang disuling di laboratorium berkisar antara 41-49,7%, dengan
rendemen berkisar antara 2,4-5%
b.Jernang
sebagai penghasil resin berasal dari buah
rotan jenis Daemonorops sp. Penyebaran rotan jernang meliputi Sumatera (Jambi)
dan di Kalimantan, dan komoditi ini telah diusahakan oleh masyarakat suku Kubu secara
intesif di Jambi. Rendemen getah yang
dihasilkan sekitar 20%, diusahakan oleh masyarakat suku Kubu secara intesif di
Jambi. Rendemen getah yang dihasilkan
sekitar 20%. Hasil isolasi 2 jenis buah rotan jernang yaitu jernang pulut dan
jernang burung adalah sebagai berikut :
jernang pulut mengandung kadar air
46,6%; sedangkan jernang burung mengandung kadar air 37,7%. Rendemen yang tertinggi jernang pulut adalah
0,15% dengan perlakuan pengendapan 48 jam dan penyaringan Pengolahan Hasil
Hutan Bukan Kayu sebanyak 5 kali, dan terendah adalah 0,08% dengan perlakuan
pengendapan selama 24 jamdengan penyaringan sebanyak 5 kali. Untuk jernang burung, rendemen yang tertinggi
adalah 0,38% dengan perlakuan pengendapan selama 24 jam dengan penyaringan
sebanyak 4 kali, dan terendah adalah 0,14% dengan perlakuan pengendapan selama
24 jam dengan penyaringan sebanyak 5 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pH jernang burung dan pulut tidak berbeda dengan yang diperoleh oleh masyarakat
yaitu 6. Berat jenis jernang pulut
adalah 0,8280 dan jernang burung 0,8650.
Bilangan penyabunan jernang pulut 268,85 sedangkan jernang burung lebih
rendah dari masyarakat, yaitu
251,19. Kedua jenis jernang tidak
mengandung tanin dan sama-sama memiliki warna coklat kemerahan seperti jernang
di masyarakat.
c. Gondrorukem
pengolahan gondorukem ester dengan
menggunakan bahan kimia gliserol dan ester dengan variasi persentasinya
dari 2-14 %. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengolahan gondorukem fumarat dengan katalis benzene
mempunyai warna yang lebih baik dari warna gondorukem fumarat dengan katalis
aseton, dan keduanya memenuhi persyaratan warna gondorukem fumarat dari standar
Cina dan Amerika. Berdasarkan bilangan asam dan titik lunaknya, dengan katalis aseton, penambahan asam fumarat 8 %
telah memenuhi kualitas pertama gondorukem fumarat dari kedua standar tersebut,
dan secara statistik juga memberikan
pengaruh nyata terhadap sifat tersebut.
d.
Gaharu
Minyak
gaharu yang berasal dari Desa Kekait, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok
Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat mengandung oleicacid, cycloprope β-entene,
chromone, hexadecanoic acid, dicarboxoidehyde. Sifat fisiko-kimianya adalah
indeks bias : 1,5060, berat jenis minyak gaharu : 0,8005, bilangan ester :
13,45, bilangan asam : 11,06. Teknologi
pembuatan produk dupa kerucut dari limbah hasil penyulingan minyak
gaharu dengan menggunakan mesin kempa
yang paling baik asal Kalimantan Timur
(Berau) adalah dengan perlakuan tekanan 10 kg/cm2, suhu 70 oC dan waktu 9 menit
sedangkan yang berasal dari Riau (Kuok) adalah dengan perlakuan tekanan 10
kg/cm2, suhu 70 oC dan waktu 3 menit selanjutnya yang berasal dari Nusa
Tenggara Barat (Mataram) adalah dengan perlakuan tekanan 10 kg/cm2, suhu 70 oC
dan waktu 6 menit.
e. Kulit ipoh
Pengolahan serat kulit ipoh di masyarakat Jambi masih menggunakan
pengolahan secara tradisional dari menyayat kulit dari pohon sampai dengan
pemukulan kulit Kelemahan dari proses
awal sampai akhir diantaranya adalah (1) tidak diketahui secara pasti ukuran
diameter berapa yang paling baik untuk dapat menghasilkan kulit yang bagus
kualitasnya dilihat dari
sifat fisiknya.
Saat ini masyarakat umumnya menggunakan diameter pohon berukuran 20-50
cm; (2) berapa lama waktu pemukulan yang efektif untuk dapat menghasilkan kulit
lembaran ipoh yang baik. Saat ini waktu
pemukulan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lembar serat kulit ipoh
adalah berkisar antara 1,5 – 2 jam.; (3) belum adanya alat yang tepat untuk
menghaluskan serat kulit ipoh agar kulit halus secara merata. Saat ini alat yang digunakan adalah palu kayu
dengan ujung bergerigi. Setelah itu
langsung dijual tanpa diolah terlebih dahulu menjadi barang kerajinan.
f. Kemenyan
Bentuk
dan warna kemenyan dari dalam dan luar kulit berbeda. Kemenyan dari dalam berwarna putih dengan
permukaan rata, sedangkan dari luar kulit berwarna putih kekuning-kuningan dengan permukaan beralur.
Pengeringan kemenyan secara tradisional memerlukan waktu 3 bulan dengan laju
penurunan kadar air 1,2% minggu.
g.Jelutung
Pola
sadap jelutung ½ spiral dari kanan atas
ke arah kiri bawah dengan periode sadap 7 hari (1/2S d/7 kn) dan pola sadap ½
spiral dari kiri atas ke kanan bawah dengan periode sadap 7 hari (1/2S d/7 kr)
menghasilkan getah jelutung relatif sama yaitu
39,40 gram dan 28,40 gram. Sedangkan pola sadap “V” menghasilkan getah
terendah yaitu 22,10 gram. Teknik
penyadapan ½ S kn (1/2 spiral dari kanan atas ke kiri bawah), menggunakan
stimulan Ethrel 5% dan periode sadap 7 hari sekali menghasilkan getah jelutung
rata-rata 36,25 gram/pohon. Teknik penyadapan ½ S kn (1/2 spiral dari kanan
atas ke kiri bawah), menggunakan stimulan Cepha 5% dan periode sadap 7 hari
sekali menghasilkan getah jelutung rata-rata 34,25 gram/pohon. Kadar air getah hasil sadapan menggunakan
stimulan lebih besar ( CEPHA 66,18% dan ETHREL 65,22%) dibanding tanpa stimulan
(62,50%), sedangkan sifat-sifat lainnya (warna, kadar abu, ekstrak aseton,
total alkaloid, daya serap air, kadar kotoran dan bahan karet) relatif sama
antara getah tanpa dan menggunakan stimulan.
h.Gambir (Uncaria gambir Roxb.)
Gambir
merupakan salah satu HHBK yang penting di Indonesia, digunakan secara
tradisional untuk berbagai tujuan seperti campuran makan sirih, obat, industri
tekstil dan kulit. Salah satu sentra produksi gambir di Indonesia adalah
Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan mendapatkan
informasi tentang teknik pengolahan gambir di Desa Siambaliang, Kabupaten
Dairi, Sumatera Utara yang dilaksanakan pada tahun 2002 dengan menggunakan
metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan gambir
dilakukan dengan teknik yang sederhana dan tradisional, rendemen yang
dihasilkan antara 4,2 - 4,8 persen dengan rata-rata 4,6persen.
i. Kayu medang landit (Persea spp.)
pengusahaan kulit kayu medang landit (Persea spp) di desa Bulo Mario,
Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan meliputi
potensi, cara pemanenan, penanganan pasca panen, tata niaga, dan kendala
pengusahaan melalui teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa potensi pohon medang landit adalah 14 pohon/ha. Cara
pemanenan kulit medang landit dilakukan dengan menebang pohon, kayu belum
dimanfaatkan secara optimal, dan belum ada budidaya tanaman. Pohon medang
landit yang dipanen merupakan tanaman yang tumbuh di kawasan hutan baik hutan
rakyat maupun kawasan hutan Negara. Kulit kayu medang landit dimanfaatkan
sebagai bahan campuran pembuatan obat anti nyamuk bakar dan dupa (hio).
j. Damar batu dan damar mata kucing.
Damar
batu menunjukkan bahwa sifat kadar abu dan bilangan asamnya masuk SNI damar,
sementara titik lunaknya (95 – 1800 C) berbeda dengan SNI damar (95 – 1200 C).
Hasil penelitian damar mata kucing dengan metode hembus dan rendam tidak
menghasilkan damar yang bersih, kaena metode ini hanya menghilangkan kotoran
yang ada di luar getah. Damar mata kucing dapat dimurnikan tanpa menggunakan
pelarut dan secara umum sifat fisiko kimia damar yang dimurnikan masih masuk
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) damar mata kucing. Namun untuk warna
damar hasil pemurnian masih agak gelap.
Dilakukan
pemurnian damar mata kucing dengan metode sistem panas. Suhu pemurnian
bervariasi yaitu 85 – 900 C, 90 – 950 C, 95 – 1000 C, 100 – 1050 C dan 105 –
1100 C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi suhu pemurnian yang terbaik
untuk damar mata kucing kualitas A adalah
pada suhu 100 – 1050 C, sedangkan damar mata kucing kualitas asalan
adalah pada suhu 105 – 1100 C. Pemurnian damar mata kucing pada suhu tinggi
menghasilkan damar murni berwarna gelap. Sifat-sifat damar mata kucing hasil
sadapan memenuhi standar SNI 01-2900-1999.
2.4
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
a.
Pemanfaatan Hasil
hutan Bukan Kayu Nabati
1.
Rotan
pemanfaat rotan tersebut hanya 43,8% responden yang menjualnya sedangkan
56,3% lagi dimanfaatkan sendiri oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga pada waktu dibutuhkan untuk membuat
pijakan padi pada saat panen.Jenis rotan yang dimanfaatkan adalah rotan sega (Calamus caesius), rotan
pulut, rotan merah, dan rotan jepung. Rotan yang dijual adalah rotan mentah
maupun rotan yang sudah diolah oleh pengrajin. Dari semua masyarakat yang
memanfaatkan rotan, 5% diantaranya telah membudidayakan rotan di lahan
miliknya. Selain menjual berupa rotan
mentah, ada juga yang menjual rotan dalam bentuk kerajinan tangan yang dibentuk
dengan kombinasi rotan, daun kajang, dan daun biru untuk membuat seraung dan
tampi beras selain itu juga rotan dapat dijadikan tas seperti tas gendong,
anjat,tikar, dan lanjung yang biasa dipakai oleh masyarakat.
2.
Karet
Bagian karet yang biasa digunakan yaitu getahnya ,karet merupakan hasil
hutan yang memiliki nilai jual tinggi karena manfaatnya sangat banyak yakni
salah satunya untuk pembuatan ban.
3.
Tumbuhan
obat,sayur-sayuran,buah-buahan
tumbuhan obat yang masih
dimanfaatkan oleh beberapa masyarakat yang diambil dari hutan. sebanyak 10%
masyarakat memanfaatkan pasak bumi dan 23,3%
memanfaatkan jenis yang sama. Pasak bumi dimanfaatkan oleh untuk obat
sakit malaria dan sakit pinggang. Selain pasak bumi, tumbuhan obat yang masih dimanfaatkan,
yaitu: akar kuning, anggrek, gingseng, dan sarang semut. Persentase pemanfaatan
oleh masyarakat pada pemanfaatan pasak bumi dan akar kuning berturut-turut
adalah 6,7%, dan 3,3% sedangkan
memanfaatkan jamur yang diambil dari batang kayu dengan jenis jamur kulat (nama
daerah) dan jamur lung yang tumbuh di tanah pada saat musim dingin yang ada di hutan yang dimanfaatkan untuk
disayur.
selain tumbuhan yang
disebutkan di atas terdapat beberapa tumbuhan yang masih dimanfaatkan mereka
dan berasal dari hutan. Tumbuhan yang masih dimanfaatkan yaitu cengkeh hutan,
durian hutan, manggis hutan, mangga hutan, buah rotan yang dapat diambil pada
musim panen, paku hati sebagai penawar racun, damar sebagai perekat pada
perahu, bambu untuk menjemur padi dan menangkap ikan. Tumbuhan obat, buah-buahan, jenis sayur dan
yang lainnya hanya digunakan oleh masyarakat pada saat dibutuhkan dan pada saat
tumbuhan hutan tersebut sedang bermusim. Sehingga mereka memanfaatkannya hanya
untuk dikonsumsi saja.
b.
Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu Hewani
1.
Madu
Potensi madu bisa dibilang sedikit atau kuantitasnya menurun,Menurut
masyarakat pohon Banggeris atau yang biasa disebut pohon Kempas (Koompassia
excelsa) sebagai pohon madu sudah
semakin langka sehingga ketersediaan madu juga semakin langka. Pada umumnya madu bisa dipanen pada saat musim buah.
Harga jual madu hutan yang dimanfaatkan responden adalah Rp 150.000/liter.
Biasanya madu dapat diperoleh 5-10 liter/minggu jika sedang musimnya.
Pengambilan madu dilakukan dengan memanjat pohon Banggeris dengan membuat
tangga pijakan di batangnya. Mencari madu hutan bukanlah pekerjaan yang mudah.
Untuk mendapatkannya, selain memanjat batang pohon yang licin pemanfaat madu
juga harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menemukan pohon banggeris
tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulka madu juga dibutuhkan waktu 1
harian
2.
Satwa liar
Disuatu daerah yang memiliki pekerjaan utama atau mata pencaharian sebagai
pemburu satwa liar Potensi hewan buruan di sekitar kawasan hutan tempat mereka
tinggal masih terbilang banyak. Pemanfaatan hewan buruan sebagian untuk
dikonsumsi dan atau dijual. Beberapa
jenis satwa liar yang diburu oleh masyarakat yaitu: Babi hutan (Sus barbatus),
Rusa sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacuc muntcak), Pelanduk/Kancil
(Tragulus javanicus), Monyet beruk (Macaca nemestrina), Ayam hutan (Gallus
gallus), dan Landak raya (Hystrix brachyura). Semua jenis satwa liar ini masih
ditemukan di kawasan hutan. Meski sebagian diantaranya sudah langka masyarakat
masih sering berburu satwa liar tersebut sebagai alternatif sumber pemenuhan
protein dan sumber pendapatan keluarga.
2.5
Pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
Meskipun
potensi hasil hutan bukan kayu cukup berlimpah tidak semua hasil hutan bukan
kayu tersebut dapat dikembangkan. Ada beberapa strategi pengembangan yang harus
dilakukan untuk memilih jenis prioritas hasil hutan bukan kayu yang diunggulkan
dan layak untuk dikembangkan. Strategi pengembangan yang harus dilakukan harus
sesuai dengan kriteria, indikator, dan standar yang ditetapkan. Tersedianya
jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha dan pemanfaatannya dan dapat dilakukan
lebih terencana sehingga pengembangan
HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah, dan berkelanjutan. Jenis HHBK unggulan adalah jenis hasil hutan
bukan kayu yang memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan budidaya
maupun pemanfaatannya di wilayah tertentu sesuai kondisi biofisik setempat guna
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang dipilih berdasarkan
kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan. HHBK unggulan ditetapkan
berdasarkan beberapa kriteria mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan
lingkungan, kelembagaan, sosial dan kriteria teknologi. Jenis HHBK unggulan
dikelompokkan dalam 3 (tiga) unggulan, yaitu: unggulan nasional, unggulan
provinsi, dan unggulan lokal (kabupaten/kota setempat). HHBK unggulan tersebut
dapat dipergunakan sebagai arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat
pusat dan daerah.
pengembangan sumber daya
hutan yang berkesinambungan membuka peluang pengembangan produk hasil hutan
bukan kayu (HHBK) karena memiliki keunggulan yang komparatif serta sangat
bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu
(HHBK) mampu memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar
hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara.
Karena pada kenyataannya, keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam
ekosistem hutan hanya sekitar 5% saja yang memberikan hasil hutan berupa kayu
dan bagian terbesar yakni 95% justru memiliki potensi memberikan hasil hutan
bukan kayu. Dalam pengelolaan HHBK sebaiknya melibatkan pemberdayaan masyarakat.
Sehingga dengan adanya pemberdayaan masyarakat terhadap pengembangan HHBK tentu
saja akan membuka lapangan kerja baru dan hal tersebut tidak hanya bermanfaat
bagi pihak pemerintah saja namun juga ikut menguntungkan masyarakat dan
terutama terhadap kelestarian sumber daya hutan.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan
HHBK adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK
yang ada di suatu daerah kawasan hutan termasuk mengetahui seberapa besar
tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan terhadap HHBK tersebut.
Dari hasil analisis pemanfaatan dan survei potensi HHBK akan diketahui jenis
apa saja yang berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat dan apakah HHBK yang
dimanfaatkan layak untuk dikembangkan. Tingkat pemanfaatan masyarakat dianalisi
dari seberapa besar kontribusi pemanfaatan HHBK terhadap pendapatan total rumah
tangga. Dengan adanya pergesaran dari pengelolaan hutan yang berorientasi kayu
menjadi HHBK akan memberikan kesempatan regenerasi alam kembali membaik. Dari
keterlibatan masyarakat secara langsung terhadap pemanfaatan HHBK juga
diharapkan pemahaman mereka terhadap kelestarian sumber daya hutan tinggi.
Sehingga partisipasi mereka terhadap suksesnya pengelolaan hutan yang lestari
tercapai.
2.6
Kebijakan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pemungutan HHBK pada hutan lindung tercantum pada pasal 26, pemungutan HHBK pada
hutan produksi pada pasal 28.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 dan perubahannya HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan
luar kawasan hutan/lahan milik atau hutan rakyat (Anonim, 2007b). HHBK yang
berasal dari kawasan hutan dibedakan menjadi: (a) HHBK yang berasal dari hutan
lindung dan dikenal dengan nama pemungutan terdapat pada pasal 28, (b) HHBK
yang berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal
dengan istilah pemanfaatan, terdapat dalam pasal 43. Pemungutan HHBK yang
berasal dari hutan lindung antara lain berupa: rotan, madu, getah, buah, jamur,
sarang burung walet dan penangkaran satwa liar. Sedangkan hasil HHBK dari hutan
produksi antara lain (1) Rotan, sagu, nipah, yang meliputi kegiatan penanaman,
pemanenan, dan pemasaran hasil; (2) Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji,
gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan,
dan pemasaran hasil.
Tiga dari lima sasaran pokok dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Kehutanan 2010-2025 yang menaungi pengembangan pemanfaatan HHBK meliputi
(1) peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan yang berkelanjutan,(2)
produk barang dan jasa yang ramah lingkungan, kompetitif dan bernilai tambah
tinggi, dan (3) Kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat dalam
pengelolaan hutan merupakan acuan dalam pengembangan HHBK. Lebih lanjut Roadmap
Litbang Kehutanan 2010-2025(Anonim, 2009c) mengemukakan bahwa tantangan yang
dihadapi dalam penelitian HHBK adalah masih terbatasnya pemanfaatan sebagai
sumber ekonomi masyarakat dan penerimaan Negara, nilai tambah dan daya saing,
evaluasi dan kelayakan usaha, ketersediaan serta akses teknologi pengolahan
yang memadai. Di samping itu, HHBK
unggulan daerah belum tersedia dan tercatat dengan baik. Secara global, HHBK diketegorikan menjadi HHBK FEM (Food,
Energy dan Medicine) dan HHBK lainnya. HHBK FEM adalah HHBK yang secara umum
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan (sagu dan sukun),
energi ( kayu bakar, arang dan biofuel yang bersumber dari lignoselulosa) dan
obat-obatan termasuk kosmetika (biofarmaka). Sedangkan HHBK lainnya umumnya
selain dari kategori tersebut (gaharu,
cendana dan minyak atsiri).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari
pembahasan yakni sebagai berikut :
1.
Hasil
hutan bukan kayu merupakan produk selain kayu yang dihasilkan dari bagian pohon
atau benda biologi lain yang diperoleh dari hutan, berupa barang (good product)
maupun jasa (services product) dan konservasi. Produk berupa barang seperti
produk minyak-minyakan, getah, rotan, bambu, penyamak, lak, madu, obat-obatan,
sedangkan jenis jasa dan konservasi meliputi pariwisata dan jasa ekologis.
Untuk hasil hutan bukan kayu nabati bisa dikelompokkan kedalam kelompok rotan,
kelompok bambu dan kelompok bahan ekstraktif.
2.
Kelompok hasil
hutan yang bukan kayu dari jenis tanaman yakni,kelompok resin yang terdiri dari
agatis dan embalu,kelompok minyak atsiri terdiri dari akar wangi dan centigi
dll,kelompok minyak lemak terdiri dari balam dan bintaro dll,kelompok
karbohidrat terdiri dari aren dan bambu dll,kelompok buah-buahan terdiri dari
cimpedak dan durian dll,kelompok tamin terdiri dari akasia dan gambir dll,bahan
pewarna terdiri dari angsana dan jati,kelompok getah terdiri dari balam dan
genor,kelompok tanaman hias terdiri dari anggrek hutan dan bunga bangkai dll,
kelompok palma terdiri dari rotan dan bambu.Sedangkan hasil hutan bukan kayu
dari jenis hewan yakni,kelompok hewan buru terdiri dari babi
hutan,kancil,kelinci,musang,rusa dll,kelompok hasil penangkaran terdiri dari
arwana irian,buaya,kupu-kupu,kelompok hasil hewan burung terdiri dari
walet,lebah dan ulat sutra.
3.
Pengolahan hasil
hutan yang bukan kayu dibedakan menurut karakteristik produknya,pengolahan
biasannya digunakan agar lebih layak untuk digunakan karena tidak semua
komponen dalam produk dapat digunakan.Pengolahannya dapat berupa menghilangkan
kadar bahan kimianya serta mengubah bentuk awal dari produk menjadi produk baru
contohnya berbagai macam tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat akan
diubah menjadi produk baru menjadi minyak atsiri sehingga nilai jualnya tinggi.
4.
Pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu yakni digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti buah-buaha,sayur-sayuran digunakan untuk konsumsi.Tanaman
obat-obatan yang digunakan untuk menyembukan penyakit serta produk lain yang
tidak mereka gunakan tapi bermanfaat untuk orang lain akan dijual sehingga
dapat membantu perekonomian masyarakat setempat.
5.
Pengembangan hasil
hutan yang bukan kayu merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan agar hutan
tidak habis digunakan masyarakat agar kondisi hutan tetap terjaga. Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan
HHBK adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK
yang ada di suatu daerah kawasan hutan termasuk mengetahui seberapa besar
tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan terhadap HHBK tersebut. Dengan
adanya pergesaran dari pengelolaan hutan yang berorientasi kayu menjadi HHBK
akan memberikan kesempatan regenerasi alam kembali membaik. Dari keterlibatan
masyarakat secara langsung terhadap pemanfaatan HHBK juga diharapkan pemahaman
mereka terhadap kelestarian sumber daya hutan tinggi. Sehingga partisipasi
mereka terhadap suksesnya pengelolaan hutan yang lestari tercapai.
6.
Kebijakan hasil
hutan bukan kayu dikeluarkan agar masyarakat tau bahwasannya ada sebagian hasil
hutan yang dilindungi keberadaannya agar kelestariannya tetap terjaga sehingga
masyarakat membuat kebijakan hukum tentang undang-undang perlindungan hasil
hutan yang tidak boleh digunakan secara berlebihan.
3.2
Saran
Saran yang dapat disampaikan penulis yaitu masyarakat lebih tepat lagi
menggunaka hasil hutan dan menggunakannya sesuai kebutuhan atau menjaga
kelestarian hutan agar hasil hutan tidak habis dan dapat digunakan untuk
generasi ke generasi dapat menyejahterakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007a. Permenhut No P.35/Menhut-II/2007 tentang
Penetapan jenis-jenis HHBK. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Anonim, 2007b. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan.
Anonim, 2009. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Nasional. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Arief.2001. Agenda Riset Nasional 2006-2009. Dewan Riset Nasional. Jakarta.
Darusman.2006.pengenalan hhbk (jenis-jenis hhbk serta cara
pengolahannya).media komputindo.jakarta
adriani cantik
BalasHapusmantap infonya,thank u beb
BalasHapusIzin copas ya 🙏🏻
BalasHapusOkay
Hapus